Tidak Memiliki Nilai Kearifan Lokal, APDESI Aceh Minta Pasal Tentang Gampong di UUPA Direvisi

,
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Provinsi Aceh, Maksalmina. Foto: Gumpalannews.com

Gumpalannews.com I Banda Aceh - Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Provinsi Aceh meminta agar sejumlah pasal yang berkaitan dengan pemerintahan gampong pada UUPA dapat direvisi.

"Ada beberapa pasal seperti pasal 115, 116, dan 117. Misalnya di pasal 115 tentang periodesasi kepala desa. Kalau bisa, gak perlu dibatasi. Serahkan saja pada proses demokrasi yang terjadi. Kalaupun tidak bisa, sesuaikan saja dengan UU nasional, karena selama ini isinya tidak jauh berbeda UU 32 Tahun 2004. Jadi kenapa tidak sekalian saja," terang Ketua DPD APDESI Aceh, Maksalmina, yang mengaku sedang berada di Jakarta saat dihubungi melalui sambungan langsung, Rabu, 15 Maret 2023.

Dalam kesempatan itu, Maksalmina juga menyorot soal perangkat desa dari kalangan PNS. Ia berharap, jikapun dipertahankan, untuk masa mendatang evaluasinya dapat dilakukan oleh pemerintah desa, bukan pemerintahan kecamatan.

"Karena idealnya begitu. Yang namanya pemerintah desa, penanggung jawabnya kan kepala desa, baik secara kewenangan, maupun secara keuangan. Kan gak fair nih, tanggungjawabnya di kepala desa, tetapi kewenangannya bukan di dia," jelas Maksalmina.

"Kita berharap teman-teman yang terlibat dalam proses penyusunan rancangan perubahan UUPA ini, khususnya DPRA, untuk bisa membantu proses ini," tambah mantan Keuchik Alue Papeun, Kec. Jambo Aye, Aceh Utara ini.

Berikutnya, Maksalmina juga menyinggung tentang pemilihan Keuchik yang selama ini diserahkan kepada pemerintahan provinsi. Terkait hal ini, ia memberikan masukan agar hal tersebut dapat dipertahankan.

"Sehingga tidak compang-camping polanya," ucapnya.

Walau demikian, Maksalmina memberikan catatan agar dalam pengaturan tata kelola pemerintahan gampong yang memang diserahkan kepada Kabupaten/kota, alangkah baiknya ke depan ada pasal yang mengatur bahwa Qanun itu harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Artinya jangan terlalu lama ketika ada update secara nasional. Misalnya pengelolaan keuangan, tanggungjawabnya kan ini diminta secara nasional regulasinya. Tetapi yang menjadi masalah, ketika regulasi di kita belum berubah, serba salah jadinya. Kebanyakan kewajiban perangkat desa gak bisa dipenuhi karena masih mengadopsi regulasi lama di tingkat lokal," urai Maksalmina.

Lebih lanjut, ia 'menyentil' penggunaan dana Otsus. Dari 6 poin yang bisa digunakan, salah satunya adalah pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi masyarakat.

"Salah satu alasan teman-teman DPRA mengajukan revisi UUPA ini kan meminta dana Otsus diperpanjang. Selama ini penggunaan dana Otsus yang diserahkan lewat pemerintahan desa kan gak ada. Kita minta disitu, ada satu klausul yang nantinya ditambahkan penguatan ekonomi masyarakat lewat pemerintahan desa wajib ada," tutur Maksalmina.

"Jangan nanti begini, ketika bicara soal data BPS yang menyebutkan angka kemiskinan Aceh berada pada nomor buncit, lalu kemudian nyalahin pemerintahan desa, padahal kita gak pernah dilibatkan. Ini kan gak fair. Ayolah kita bareng-bareng menyelesaikan persoalan ini," tambah dia.

Sebelum menutup penjelasannya, Maksalmina menerangkan beberapa waktu lalu pihaknya hampir mengajukan Judicial Review (JR) ke MK terkait pasal 115 di UUPA ini. 

"Tapi hasil Rakor tanggal 20 Juni 2020, dan kebetulan masih ada pandemi, keinginan itu kita tunda. Tapi alhamdulillah, saat ini ada momentum revisi yang memungkinkan agar aspirasi tertampung. Kita juga sudah menyampaikan hasil diskusi internal kita kepada teman-teman Kab/kota, hal seperti ini disampaikan pada pertemuan RDPU di Kabupaten/kota," ujar dia.

"Dan alhamdulillah sekali, dengan adanya teman-teman media seperti ini, mudah-mudahan aspirasi kami dapat tersampaikan dan didengar oleh para pihak yang menyusun draft rancangan perubahan UUPA," tambah Maksalmina sekaligus menutup keterangannya.