PIDIE JAYA- Siang itu, Selasa, 15 Oktober 2024, matahari bersinar terik di sekitar lokasi Gedung Tgk. Chiek Pante Geulima Kabupaten Pidie Jaya. Namun suasana tetap riuh oleh semangat ratusan siswa yang mengikuti acara Gelar Karya Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS).
Di antara pepohonan yang memberikan sedikit keteduhan, sejumlah penjual jajanan ringan setia menunggu pembeli. Di sudut lain, beberapa siswi terlihat asyik berswafoto dalam balutan pakaian adat yang berwarna-warni. Sementara itu, di seberang jalan, Muhammad Anzil Mahlawi, siswa kelas 6 SDN 8 Ulim, Pidie Jaya, duduk menyendiri sambil menunggu temannya.
"Teungoh preh ngon bang. Jeh, nyan jih, (sedang nunggu teman bang. Nah, itu dia)," ujar Anzil sambil menunjuk ke arah temannya yang datang. Saat itu, ia bersama teman-temannya baru saja usai menampilkan tari Seudati, salah satu warisan budaya Aceh yang sarat dengan gerakan enerjik dan syair yang menggema.
"Saya bagian peh rapai," kata Anzil dengan bangga, menjelaskan perannya sebagai penabuh rapai, alat musik tradisional yang akan mengiringi tarian Seudati mereka.
Dengan wajah yang ceria, Anzil bercerita bahwa selama dua bulan terakhir, ia dan teman-temannya giat berlatih tari Seudati di bawah bimbingan Bang Ahyar, seorang seniman lokal yang ahli dalam kesenian ini.
"Kami jarang sekali belajar Seudati di sekolah, jadi saya sangat senang bisa ikut acara ini. Bang Ahyar orang lama yang paham dan mengerti tentang Seudati," tuturnya penuh semangat. Bagi Anzil, kesempatan belajar langsung dari seniman berpengalaman merupakan pengalaman yang tak terlupakan.
Saat Anzil menceritakan pengalamannya, panas siang hari semakin terasa. Rerimbunan pohon tak lagi mampu sepenuhnya melindungi dari sinar matahari yang semakin menyengat. Dengan gerakan cepat, Anzil meraih sebotol air mineral dan meneguknya. Peluh menetes di dahinya, namun senyum tak pernah hilang dari wajahnya.
"Saya berharap tahun depan kegiatan ini bisa dilaksanakan lagi. Kami senang belajar Seudati," ucapnya penuh harap, sembari meminta izin untuk bergabung ke teman-temannya.
Suasana di sekitar terus hidup, sementara Anzil dan anak-anak lain bersiap untuk kembali ke dalam gedung pertunjukan, terlihat seorang lelaki muda sedang mengatur anak asuhnya yang baru saja usai menampilkan aksi terbaiknya pada pagelaran Gelar Karya GSMS 2024 di Kabupaten Pidie Jaya.
Ia adalah Taufik Hidayat, seorang seniman yang mengajarkan seni tari, Manoe Pucok, untuk para siswa SDN 14 Musa, Kab. Pidie Jaya. Saat media ini memperkenalkan diri, Taufik terlihat begitu antusias dan mengajak penulis mengobrol di sebuah pohon yang agak teduh. Tempat tersebut seolah menjadi saksi dari spirit seorang pelaku seni yang berupaya menjaga agar budaya dan kearifan lokal tak tergerus oleh arus kemajuan zaman.
Taufik adalah sosok yang tak kenal lelah dalam mengajarkan seni tari kepada generasi muda, khususnya melalui Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS). Tari Manoe Pucok yang ia ajarkan merupakan tradisi khas wilayah barat selatan Aceh, sebuah prosesi adat yang memandikan pengantin sehari sebelum pernikahan.
"Ini seperti upacara penyucian sebelum memasuki kehidupan baru. Saya ingin anak-anak memahami makna di balik tarian ini, bukan hanya gerakannya, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya," ujar Taufik dengan penuh semangat.
"Dalam adat Jawa, istilahnya siraman. Kalau di Aceh namanya Manoe Pucok. Biasanya dimandikan berdua, namun lebih dikhususkan pada pengantin wanita," tambah dia.
Bagi Taufik, program GSMS adalah terobosan yang sangat inovatif. Melalui kegiatan tersebut, para generasi muda Kabupaten Pidie Jaya dapat memahami apa itu seni, apa itu seni musik, tari, drama, kaligrafi, melukis, seni ukir, dan lain lain.
"Di sekolahnya anak-anak jarang mendapatkan pelajaran seni. Meskipun ada, tapi itu umum, tidak se spesifik ini. GSMS menjadi salah satu jalan dalam melestarikan seni budaya yang menjadi kearifan lokal sebuah daerah," terang dia.
Ia menambahkan, GSMS merupakan bentuk perhatian pemerintah kepada seniman, sehingga para pelaku seni memiliki ruang untuk berekspresi sekaligus meneruskan tongkat estafet kepada generasi muda agar mereka paham tentang kekayaan budaya daerah yang harus terus dirawat dan dilestarikan.
Seperti harapan penerima manfaat lainnya, Taufik juga berharap agar pemerintah dapat melanjutkan program GSMS ini demi sebuah asa tentang kelestarian seni budaya yang diwariskan para leluhur.
"Di era yang serba digital ini, arus informasi bak tsunami yang hadir di gadget kita masing-masing. Saya khawatir keadaan ini akan menjadi bumerang bagi generasi muda sehingga terpengaruh dengan budaya luar. GSMS adalah solusi agar itu tidak terjadi," ucap Taufik.
Sejurus kemudian, handphone pria hitam manis ini berdering, dan ia pun mengangkatnya. Tak lama, Taufik menutup telponnya dan meminta izin untuk bergabung kembali bersama anak asuhnya.
"Maaf bang, saya harus kembali ke dalam " ucap Taufik.
Setelah berjabat tangan, Taufik pun berlalu membawa sejuta mimpi agar program GSMS dapat dilanjutkan kembali sembari terus menggenggam tekad tentang budaya Aceh yang harus selalu hidup di hati generasi muda.
Komentar