Realisasi Investasi Tahun 2022 Tidak Mencapai Target RPJMA, Ini Kendalanya

Analis Kebijakan Ahli Muda Sub Koordinator Pemantauan Pelaksanaan Penanaman Modal DPMPTSP Aceh, Aridansyah Putra. Foto: Untuk Gumpalannews.com

Gumpalannews.com I Banda Aceh - Realisasi investasi di Aceh pada tahun 2022 diketahui mencapai Rp 5,2 triliun, atau hanya 71 persen dari yang telah ditargetkan dalam RPJM Aceh tahun 2022 (Rp 7,3 triliun).

Menanggapi hal tersebut, Analis Kebijakan Ahli Muda Sub Koordinator Pemantauan Pelaksanaan Penanaman Modal DPMPTSP Aceh, Aridansyah Putra, menerangkan tidak tercapainya realisasi investasi di Aceh seperti yang telah diamanatkan dalam RPJM Aceh tahun 2022 lebih disebabkan oleh perubahan sistem pelaporan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) yang menjadi kewajiban para pelaku usaha.

"Angka Rp 5,2 triliun itu merupakan data untuk update triwulan III tahun 2022. Sementara data triwulan IV, kita baru menerima datanya, jadi masih dalam proses pengolahan data," terang Ari.

Lebih lanjut dia menjelaskan, pihaknya mengalami kendala pada proses penarikan data, sehingga dari triwulan II hingga IV mengalami ketergantungan data dari pusat. Permasalahan ini yang DPMPTSP Aceh belum bisa menyajikan data secara 100 persen untuk tahun 2022.

"Karena data yang kita terima dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebelumnya ada perubahan sistem pelaporan LKPM (kebijakan pusat). Cuma angka besarnya sudah dapat, namun kita harus memvalidasi kembali sesuai LKPM yang disampaikan perusahan. Saya memprediksi realisasi investasi di Aceh mencapai 90 persen," beber Ari.

Lebih rinci Ari menjelaskan, sistem perizinan sebelumnya melalui LKPM online. Sistem ini digunakan hingga 30 Juni 2022. Pada tanggal 1 Juli 2022 menggunakan sistem OSS. Karena baru, banyak pelaku usaha yang belum bisa melaporkan LKPM nya akibat harus melakukan proses migrasi 
data perizinan usahanya ke sistem OSS.

"Karena data perizinannya banyak yang belum migrasi, jadi kebanyakan pelaku usaha belum melaporkan LKPM. Saat masuk ke sistem, data yang bersangkutan tidak ada. Jadi dia harus migrasi dulu. Ini kendala utamanya," tutur dia.

Selain itu, lanjutnya, klasifikasi realisasi investasi sebelumnya masih mengakui skala usaha yang kecil. Dijelaskan olehnya, skala usaha ada empat, mikro, kecil, menengah, dan besar. 

Sebelum berlaku aturan yang terbaru saat ini (sistem OSS) skala mikro 1-50 juta tidak wajib melaporkan LKPM.

"Kalau dulu modal di atas 50 juta harus melaporkan LKPM. Sekarang, setelah perubahan, skala mikro itu 1 rupiah hingga 1 milyar tidak wajib melaporkan LKPM. Ruang lingkupnya lebih luas. Jadi pasca perubahan ini, yang banyak melaporkan LKPM kebanyakan disumbangkan dari sektor yang kecil. Yang besar banyak juga, yang kecil sekitar 40 persen, yang lainnya skala menengah ke atas sekitar 60 persen," ujar Ari. 

Mengatasi hal ini, DPMPTSP Aceh melakukan sejumlah upaya terobosan seperti menggelar Bimtek dan mengundang para pelaku usaha untuk selanjutnya dilakukan pembinaan.

"Tahun ini kita memanggil 340 orang pelaku usaha. Itu yang kita panggil, belum lagi yang kita hubungi via telpon dan melalui mekanisme zoom. Di sistem kita bisa lihat perusahaan-perusahaan yang belum bisa migrasi. Nanti kita pandu untuk perubahan data usaha mereka," jelas Ari.

Kendati demikian, terdapat sejumlah permasalahan yang ditemukan DPMPTSP Aceh yang diakui para pelaku usaha saat ditemui di lapangan, seperti adanya iklim investasi yang belum kondusif serta persoalan sewa lahan yang belum berpihak pada investor.

"Akan tetapi ini minim sekali," ucapnya.

Ia pun mencontohkan soal durasi sewa lahan yang diinginkan investor di kawasan Lampulo, Banda Aceh. Pihak investor menginginkan agar masa sewa lahan minimal 15 tahun, sementara pemerintah hanya mengijinkan dengan mekanisme per tahun. 

"Hal ini menyebabkan sulit bagi investor untuk berinvestasi, karena durasi sewa lahannya minim sekali. Pelaku usaha menginginkan minimal 15 tahun atau paling tidak 30 tahun, supaya kepastian berbisnis mereka terjamin," ungkap Ari.