Gumpalannews.com, SIMEULUE - PT. RM disebut-sebut dibalik pembukaan ratusan hektar lahan untuk perkebunan kelapa sawit di sejumlah tempat di Simeulue.
PT. RM diduga mengaburkan kepemilikan hak atas tanah. Dengan cara membeli lahan dari masyarakat, melalui oknum-oknum kaki tangan PT. RM secara pribadi.
Tanah itu kemudian seolah-olah milik pribadi. Namun diduga dikendalikan PT. RM.
Upaya ini dilakukan, diduga untuk memudahkan izin dan menghindari pajak serta retribusi kepada Daerah Simeulue.
Tidak hanya Hutan Lindung milik negara yang diduga di serobot oleh PT.RM. Sangking beraninya, PT. RM juga diduga menyerobot lahan milik Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue.
Atas dugaan penyerobotan lahan tersebut, kemudian Pemerintah Daerah Simeulue memasang papan pamflet pelarangan aktivitas di areal kebun milik PDKS. Pada sabtu, (18/03/2023) kemarin.
Sekretaris Daerah Simeulue, Asludin, SE, M.Kes memimpin langsung pemasangan papan pamflet larangan tersebut atas perintah Pj. Bupati Simeulue, Ahmadlyah, SH.
Asludin, menghimbau agar PT. RM menghentikan Penggarapan Lahan. Sebelum mendapat izin atau Legalitas atas tanah sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.
Sementara untuk masyarakat. Sekda menegaskan, Pemerintah Daerah juga menghimbau agar segera mengurus hak atas tanah garapannya dan tidak menjual sebelum ada Legalitas.
Pemasangan papan pamflet pelarangan aktivitas itupun. Sempat diwarnai ketegangan dari sejumlah masyarakat.
Mereka mengklaim tanah itu milik mereka.
"Kami keberatan pemasangan papan pamflet disini. Ini areal tanah kami," Ujar Perwakilan masyarakat setempat, Rustian.
Perdebatan pemasangan pamflet itu reda. Setelah Koordinator Manajer Sementara Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue, Sahirman memberikan pemahaman pada warga terkait status lahan tersebut.
Menurut Sahirman, Pemerintah Daerah Kabupaten Simeulue berpedoman pada Surat Keputusan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia tentang luas areal PDKS.
"Kita (Pemerintah Daerah) sesuai dengan Peta Polygon RTRW Simeulue dan SK Kementerian Kehutanan RI terkait areal PDKS. Soal bapak ibu mengklaim ini tanah anda. itu hak bapak-bapak dan ibu-ibu. Namun pamflet ini tetap kami pasang, ini kami menjalankan perintah atasan," Jelasnya.
Lebih lanjut, kata Sahirman, soal ada sengketa antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat. Nanti akan duduk bersama secara musyawarah, atau melalui mekanisme pengadilan.
"Jika nanti ini milik bapak-bapak. Maka pemda Simeulue tidak akan menahan atau menghambatnya. Justru Pemda mendukung," Ujar Sahirman, yang akhirnya dapat mendinginkan suasana dan papan pamflet tersebut terpasang.
Sahirman menduga, ada pihak-pihak lain yang ingin memperkeruh suasana. Dengan cara membenturkan masyarakat dengan Pemerintah Daerah.
Tidak tertutup kemungkinan Pemerintah Daerah akan memanggil pihak-pihak yang diduga tersebut untuk dimintai penjelasannya.
Staf Kesatuan Wilayah Hutan IV Meulaboh, Nasir, yang ikut serta dalam rombongan.
Mengatakan, bahwa hampir semua lahan yang saat ini sedang digarap diduga oleh PT. RM belum memiliki status lahan.
Sehingga izin Link Cliring (LC) dari Pemerintah Provinsi Aceh belum dapat diterbitkan.
"Itu semua yang buka saat ini belum memiliki status lahan. Sehingga izin Link Cliringnya dari Pemerintah Provinsi Aceh belum keluar. Lahan yang dibuka saat ini hanya berdasarkan Surat Perjanjian Jual Beli dan Surat Keterangan dari Desa atau Camat," Ujar Nasir.
Sebelumnya, PT. RM menyerobot hutan lindung milik negara yang akhirnya telah dikembalikan ke Negara.
PT. RM ini cukup berani membuka lahan yang status kepemilikan tanahnya, belum memiliki kekuatan hukum tetap seperti izin Link Cliring dari Pemerintah Provinsi Aceh.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin, mendesak aparat penegak hukum memproses atas dugaan pengrusakan hutan dan lahan milik Negara di Kecamatan Teluk Dalam.
Menurut Walhi, harus ada konsekuensi hukum atas pengrusakan lahan tersebut meski telah dikembalikan ke Negara.
“Harus ada konsekuensi hukum. Itu harus diproses. Kedua, perbaikan lingkungan juga tanggung jawab mereka mengembalikan ke posisi awal. Mereka bukan rakyat, bukan masyarakat.
Kalau warga okelah gak paham batasan. Tapi kalau namanya Korporasi atau perusahaan tidak mungkin mereka tidak paham aturan. Harus tanggung bertanggung jawab secara hukum dan secara lingkungan,” Ujar Direktur Walhi Aceh, Ahmad Shalihin Kepada Gumpalannews.com. Selasa, (28/02) lalu.
Komentar