Menakar Kualitas Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2024

,
Penulis Raden Zakaria Penggiat Pemilu di Sumatera Selatan. Foto dok pribadi for Gumpalan

Gumpalannews.com, PALEMBANG- Manifestasi minimum dari sistem demokrasi adalah pergantian pemimpin secara reguler melalui pemilihan umum secara langsung. Di Indonesia, pemilihan pemimpin diselenggarakan lima tahun sekalinoleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia dan di awasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

Pemilihan umum ini meliputi memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten, dan Anggota DPRD Kota.

Salah satu instrumen penting dalam pemilu, selain partai dan figur peserta pemilu yang bersaing meraih suara rakyat, menarik untuk dilihat dan dicermati yakni tingkat partisipasi pemilih.

Tingginya partisipasi pemilih dapat dibaca sebagai penerimaan masyarakat atas penerapan sistem demokrasi di Indonesia dan harapan bagi terwujudnya kemajuan negara, sementara rendahnya partisipasi pemilih dapat menunjukkan bentuk ketidakpercayaan serta perilaku apatis masyarakat terhadap proses demokrasi ini.

Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam dua pemilu terakhir terdapat kenaikan tingkat partisipasi pemilih.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 menghasilkan partisipasi pemilih yang paling tinggi sebesar 81,9 persen. Ini mengalami peningkatan drastis dari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 sebesar 69,6 persen.

Sedangkan partisipaai pemilih yang menggunakan hak suaranya pada pemilu serentak di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2019 mencapai 81,4 persen dan melampaui target rata-rata partisipasi nasional yakni 77,5 persen. Pada Pemilu tahun 2024 KPU RI secara nasional memiliki target nasional sebesar 79,5% partisipasi pemilih. 

Secara konsep dalam konteks demokrasi,  pejabat publik dipilih dan diturunkan melalui partisipasi politik. Tanpa partisipasi proses dipilih dan memilih tidak akan ada proses politik sehingga menjadi suatu kegiatan yang  penting dalam penyelenggaraan pemilu (Adi Suryadi Culla, 2015).

Partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan pemilu bisa dilihat dari perspektif  pendekatan civic culture (budaya masyarakat) dan pendekatan rasional. 

Pendekatan civic culture merupakan partisipasi politik dalam pemilu yang menjadi salah satu indikator kualitas demokrasi berkaitan legitimasi hasil pemilu dan tingkat dukungan pada pemerintah hasil pemilu. Makin banyak warga negara yang ikut memilih atau memberikan suara dalam pemilu, indikasi makin kuatnya legitimasi demokrasi.

Sementara pendekatan rasionalitas, partisipasi dari masyarakat atau publik bukan menjadi ukuran satu-satunya faktor, oleh karena itu partisipasi yang rendah boleh jadi dikatakan  menggambarkan demokrasi makin baik.

Disini yang ditekankan pada kualitas partisipasi itu sendiri bukan kuantitas atau jumlah artinya membutuhkan rasional pemilih dalam melakukan partisipasi.

Melihat pendekatan ini, dalam pemilu ke pemilu partisipasi pemilih selalu  mencapai target namun di sisi kualitas partisipasi pemilih semakin baik.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 28 kasus pelanggaran Pemilu 2019 yang telah diputuskan dalam persidangan. Dari jumlah tersebut, pelanggaran berupa politik uang paling banyak terjadi. Sementara data Survei Indikator Politik, pemilih yang mendapatkan tawaran politik uang pada Pileg 2014 mencapai 33%.

Pada tahun tahun 2019, terus meningkat terkait dengan masalah politik uang. Kemudian angka korupsi yang melibatkan politisi hasil dari proses pemilu 2019 juga semakin meningkat, hal ini menandakan lemahnya kualitas partisipasi pemilih yang akhirnya banyak para pejabat eksekutif dan legislatif hasil pemilu yang terlibat korupsi.

Data KPK RK sebanyak 1.479 orang ditetapkan sebagai tersangka dan dibawa ke meja hijau oleh KPK sejak 2004 hingga November 2022. Dari data tersebut, anggota DPR dan DPRD yang terlibat sebanyak  319 orang.

Faktor ini  terjadi indikasi utamanya karena adanya praktik politik uang yang masif dalam proses demokrasi lima tahunan ini. Masalah ini terjadi karena masih lemahnya kesadaran politik dan  lemahnya tindak pidana politik uang sebagai bentuk paksaan hukum.

Fakta bahwa pemberian barang atau uang sebagai bagian dari paksaan kepada pemilih juga pemicu semakin membudaya praktik ini sehingga harus ada kesadaran masyarakat bahwa ini salah dan ini bukan budaya dalam pemilu yang benar. Jika ingin bangsa lebih baik pemilih harus sadar bawah hal ini tidak boleh terjadi lagi.

 Kesadaran Pemilih

Pada pemilu 2024 mendatang bukan hanya sekedar tingkat partisipasi pemilih yang menjadi target tetapi juga kualitas partisipasi pemilih masyarakat dalam menentukan pemilihan. Untuk mewujudkan ini maka diperlukan kesadaran politik dari pemilih.

Pemilih harus sadar bahwa perubahan tatanan pembangunan yang lebih baik harus diawali dari partisipasi politik yang benar. Rasional pilihan harus menjadi ukuran baik rasionalitas program maupun rasionalitas ideologis. Cara - cara memilih yang melanggar norma sosial, agama dan hukum harus dipangkas agar partisipasi politik semakin berkualitas.

Menurut Emile Durkheim dalam Teori Struktural fungsional, pencapaian kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial dalam masyarakat, disebut dengan solidaritas sosial.

Solidaritas sosial yang diungkapkan oleh Durkheim ini sangat berkaitan dengan yang namanya fakta sosial. Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa fakta sosial itu berada di “eksternal dan “mengendalikan” setiap manusia. Begitu juga dengan fakta sosial tentang partisipasi pemilih faktor eksternal sangat menentukan pilihan pemilih.

Solidaritas sosial pada masyarakat modern bisa terwujud seperti demokrasi yang saat ini sedang berjalan maka setiap manusia memiliki peranan-peranannya masing-masing atau bisa dibilang setiap manusia harus menjalani kehidupannya sesuai fungsinya untuk itu diperlukan struktur sosial untuk meningkatkan kesadaran sosial dan solidaritas sosial dalam mewujudkan ketaraturan sosial termasuk ketetaruran dalam pemilu.

Untuk meningkatkan kesadaran politik ada tiga komponen struktur yang perlu diperhatikan dalam pemilu. _Pertama_ , tokoh masyarakat dan agama. Sebagai penjaga moral sosial dan agama, tokoh agama harus terlibat dalam meningkatkan kesadaran politik masyarakat agar memilih sesuai dengan norma yang benar.

Tokoh masyarakat dan agama tidak boleh terlibat dalam praktik politik yang melanggar norma-norma sosial dan agama. Suap sebuah fakta sosial dalam norma sosial dan agama jelas dilarang karena merusak dan menyimpang dalam tatanan struktur sosial.

Untuk itu peran mereka harus bisa menekan agar suap tidak masuk dalam proses partisipasi politik karena merusak partisipasi politik masyarakat. Kesadaran ini harus ditumbuhkan dan peran tokoh masyarakat dan agama sangat kuat dan penting karena mereka bersentuhan langsung dengan pemilih.

 _Kedua_ , Penyelenggaraan Pemilu. Penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu punya peran strategis dalam meningkatkan kesadaran politik masyarakat dalam pemilih.

Lembaga ini tidak boleh hanya sekedar event organizer (EO) tapi lebih dari itu menjaga Marwah demokrasi. KPU sebagai penyelenggara pemilu bukan sekedar meningkatkan partisipasi pemilih tetapi juga meningkat rasional pemilih atau kesadaran Pemilih agar memilih dengan benar.

Terutama bagi pemilih muda yang pada pemilu 2024 sangat strategis karena mencapai 60 persen dari pemilih. Mereka sebagai generasi muda bangsa harus bisa membawa arah politik Indonesia lebih baik melalui partisipasi pemilih.

Maka sosialisasi secara masif untuk menjaga moral pemilih muda harus terus dilakukan agar tidak terpengaruh oleh pratik-praktik politik uang. Begitu juga dengan Bawaslu harus mengawal proses ini dengan benar dan memberikan edukasi masyarakat tentang bahayanya politik uang dalam proses politik.

Peran Bawaslu dalam menjaga moral demokrasi mulai dari tahapan hingga penetapan sangat urgen untuk memastikan agar partisipasi pemilih tidak diciderai oleh politik uang.

Pengawas  pemilu juga ikut memberikan edukasi agar masyarakat Pemilih tidak memilih berdasarkan faktor yang melanggar norma sosial dan agama yang secara mendasar juga terkait dengan norma demokrasi itu sendiri.

 _Ketiga_ , Aparat Pemerintah. Untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat aparat pemerintah ikut andil tatapi bukan terlibat dalam politik praktis.

Struktur pemerintah mulai dari tingkat RT ikut memberikan edukasi agar masyarakat sadar bahwa negara akan maju, daerah akan maju jika di pimpin dan wakili oleh orang-orang yang benar.

Pemimpin yang benar tentu lahir dari proses yang benar untuk itu menjadi masyarakat harus tumbuh kesadaran untuk menjadi pemilih yang baik sesuai dengan hati nurani dan rasionalitasnya.

Kepolisian bersama bawaslu sebagai Penenggakkan Hukum Terpadu dalam pemilu (Gakkundu) perlu sinergis dengan baik untuk bisa ikut mengawasi proses partisipasi politik pada pemilu dari pelanggaran - pelanggaran pemilu terutama politik uang.

Peserta pemilu tidak diberi ruang untuk bisa menjalankan praktik-pratik yang melanggar norma sosial dan agama dalam pemilu. Melalui pengawasan yang ketat dalam proses demokrasi maka bisa mengurangi pelanggaran pemilu tersebut.

Sebagai penutup, meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara.

Dalam berdemokrasi, keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara adalah sebuah keniscayaan (keharusan) terutama dalam rangka membangun kesadaran Politik.

Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu sangat penting dilakukan dalam rangka meminimalisir golput dan meningkatkan partisipasi namun lebih dari sosialisasi kesadaran politik dalam partisipasi pemilu jauh lebih penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang outputnya meningkatkan kemajuan bangsa melalui pemimpin dan wakil rakyat yang lahir dari partisipasi politik yang benar.(*)

 _*Penulis : Raden Zakaria, Penggiat Pemilu di Sumatera Selatan. (Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis)
*_

Editor: Yono Hartono