Gumpalannews.com I Banda Aceh - Teka teki siapa yang menjabat Pj. Gubernur Aceh terjawab sudah. Melalui informasi yang disampaikan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan, Achmad Marzuki dipastikan kembali menjabat sebagai Pj. Gubernur Aceh setelah masa jabatannya diperpanjang oleh Presiden.
"Iya benar, Bapak Achmad Marzuki diperpanjang masa jabatannya sebagai Penjabat Gubernur Aceh untuk paling lambat 1 tahun ke depan," ucap Benni, seperti yang dikutip dari laman Serambinews.com, Rabu, 5 Juli 2023.
Keputusan pemerintah pusat yang memperpanjang masa jabatan Achmad Marzuki sekaligus mementalkan 'jagoan' DPRA yang mengusulkan Bustami Hamzah sebagai calon tunggal untuk duduk di singgasana Aceh 1.
Menanggapi hal ini, Ketua Badan Riset Aceh Institute (BRAIN), Fajran Zain, Rabu, 5 Juli 2023, menyebutkan keadaan ini akan membuat keharmonisan legislatif dan eksekutif di Aceh terganggu dan berdampak pada kebijakan serta kepentingan jangka pendek yang relatif akan sangat pragmatis, termasuk kebijakan anggaran kegiatan.
"Dulu ketika Achmad Marzuki baru dilantik DPRA berharap sosok ini akan memberi warna yang baru, berbeda dengan era pemerintahan Nova yang sudah sangat critical. Kondisi hari ini jadinya sangat dilematis. Achmad Marzuki pasti memiliki perasaan tidak nyaman, karena DPRA di satu sisi sudah berlaku tidak fair terhadap dia, dia merasa tidak diinginkan dan merasa dibuang," ujar Fajran.
Saat kembali ke tampuk kekuasaan, Achmad Marzuki akan membalaskan sakit hatinya pada sikap politik DPRA ini.
"Dilema yang sama terjadi pada Bustami (Sekda). Pertama, untuk mengganti Sekda butuh proses dan waktu yang panjang, sayangnya komunikasi Pj Gubernur dan Sekda menjadi 'garing'. Achmad Marzuki kan juga melihat Bustami 'ikut bermain' yang hampir mencelakakan dirinya. Semua menjadi serba tidak enak," terang dia.
Eloknya, lanjut Fajran, sikap politik DPRA lebih 'halus' dengan tidak memaksakan calon tunggal, tapi tetap menggunakan mekanisme sebagaimana mestinya, mengusulkan 3 nama dengan nama Achmad Marzuki menjadi salah satu nama yang diusulkan.
"Lakukan lobi ke atas yang lebih soft, bangun pendekatan dengan pengambil kebijakan di pemerintah pusat untuk 'mengendorse' satu nama dari tiga nama nama yang dimunculkan ke publik, sehingga lahir sebuah keputusan yang sesuai dengan kehendak politik DPRA," sebut Fajran.
Dalam kacamata psikologi politik, kata Fajran, memunculkan satu nama telah menunjukkan sikap perlawanan terbuka terhadap Achmad Marzuki, yang notabenenya masih berkuasa (SK nya belum berakhir).
"Dia (Achmad Marzuki) masih berkuasa, SK belum keluar. Jadi apa yang dilakukan DPRA adalah serangan terbuka, tapi DPRA lupa menyiapkan pertahanan yang baik," ucap Fajran.
"Pertanyaannya sekarang, apakah DPRA memiliki akses ke pemerintahan pusat? Ke Mendagri, ke Presiden? Ini salah strategi. Boleh saja menggertak dengan mengusung satu nama, tapi apakah lobi DPRA cukup kuat. Ternyata tidak kan, kalah dengan positioning Achmad Marzuki yang kebetulan orang pusat dan memiliki kontrol opini yang lebih baik," tambah dia.
Fajran juga menerangkan, bahwa pengajuan satu nama yang dilakukan DPRA juga telah menyalahi ketentuan yang ada.
"Tidak ada dalam aturan Permendagri pengajuan satu nama, tapi harus mengajukan tiga nama. Disini saja sudah salah pendekatan. Kajiannya tidak dalam. Ini yang saya sebut sebelumnya DPRA telah kalah strategi," terang Fajran.
Terkait adanya penolakan Achmad Marzuki dari sejumlah elemen rakyat, Fajran menjelaskan penolakan tersebut adalah sebuah kewajaran. Akan tetapi pemerintah pusat juga tidak mungkin akan mengubah sebuah keputusan yang telah dikeluarkan.
"Pemerintah pusat sulit untuk mencabut SK itu kembali, ditambah lagi dengan masyarakat kita tidak kompak," terang dia.
Pada akhir pandangannya, Fajran menyebutkan keputusan pemerintah pusat yang mempertahankan Achmad Marzuki sebagai Pj. Gubernur telah 'menampar' Aceh yang memiliki kekhususan dan keistimewaan.
"Kembali ke semangat kita dulu, salah satu kekhususan yang Aceh miliki adalah kekhususan dalam membuat keputusan, yang itu menyangkut hal yang strategis dan signifikan untuk Aceh, contoh dalam soal penunjukan Pj seperti ini. Kita ingin menunjukkan Aceh punya kuasa untuk menunjuk sendiri," ungkap dia.
"Ini kan tamparan bagi kita. Apa Aceh tidak lagi memiliki putra terbaik untuk memimpin daerah sendiri, sehingga harus dikirim pemimpin dari luar Aceh. Ini yang membuat kondisi semakin runyam. DPRA menjadi lembaga yang sangat dipermalukan. Kemarin gagah mengajukan satu nama, ternyata hari ini 'dikadalin'. Aceh melalui wakil rakyatnya tidak ada apa-apanya dalam konstelasi politik nasional," tambah Fajran.
Komentar