CSO Desak Pemerintah Tangani Pengungsi Rohingya Secara Manusiawi

,
Pengungsi Rohingya saat di depan kantor Kemenkumham Aceh. Foto: Dok redaksi Gumpalannews.com

Gumpalannews.com, BANDA ACEH - Sejumlah organisasi masyarakat sipil (CSO) yang bergerak pada isu kemanusiaan mendesak institusi negara terkait untuk menangani persoalan pengungsi Rohingya lebih manusiawi. 

Hal ini disampaikan CSO dalam pernyataan bersama yang diterima redaksi, Jumat, 8 November 2024 terkait penanganan ratusan pengungsi Rohingya yang berlabuh di Aceh Selatan pada akhir Oktober lalu.

"Saling lempar tanggung jawab penanganan pengungsi dari luar negeri yang selama ini hanya berada di tataran naratif, kini terjadi secara tindakan," tulis CSO.

Pada 6 November 2024, Pemda Aceh Selatan mengangkut 152 pengungsi, yang juga terdiri dari 3 perempuan hamil serta lebih dari 80-an anak-anak dan perempuan, menggunakan truk ke Banda Aceh untuk meminta pertanggungjawaban negara. 

"Pemindahan ini dilakukan tanpa ada bantuan air minum, makanan, kesempatan untuk beribadah, serta akses ke toilet. Lembaga kemanusiaan hanya mampu menyediakan makanan di tepi jalan, sejauh diizinkan," ucap CSO.

Setelah menempuh perjalanan panjang, rombongan truk pengungsi Rohingya yang dikawal oleh beberapa anggota Polres Aceh Selatan dan perwakilan Pemkab Aceh Selatan ini langsung menuju Kemenkumham Aceh, yang membawahi Kantor Imigrasi. Namun, apa lacur, pihak yang dituju tidak menerima mereka.

"Saat hal ini terjadi, otoritas di Banda Aceh berdalih tidak ada koordinasi atau MoU antara Pemda Aceh Selatan ke Pemda Banda Aceh dalam penerimaan pengungsi," kata CSO.

Lempar Tanggungjawab Antar Institusi 

Sebelum pemindahan ini terjadi, lanjut CSO, kondisi tersebut diawali dengan praktik lempar tanggung jawab tanpa koordinasi antar lembaga yang berwenang. Kanwil Kemenkumham Aceh menjanjikan adanya pemindahan ke Lhokseumawe setelah pengungsi ditampung sementara di Aceh Selatan. 

Namun, pernyataan tersebut dibantah melalui media oleh Pemko Lhokseumawe yang mengaku bahwa tidak ada koordinasi pemindahan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan pernyataan. 

"Lokasi di Lhokseumawe yang sempat direkomendasikan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan pun masih belum ada kejelasan," terang CSO.

Malam harinya, terdapat informasi bahwa Pemerintah Lhokseumawe telah bersedia menerima setelah ada dorongan dari Pemerintah Provinsi Aceh. Meski Pemprov tidak disebut memiliki peran dalam Perpres, kondisi tersebut tampaknya mengarahkan pemerintah provinsi untuk melakukan extraordinary measure meski sudah sangat terlambat.

"Pengungsi pun kembali menempuh perjalanan pada 7 November malam hingga 8 November pagi ke Lhokseumawe, menuju ke Gedung Ex Imigrasi Lhokseumawe. Seperti pola yang diorganisir, di sana telah menanti serombongan orang yang menamakan dirinya warga lokal, menolak pengungsi tersebut dimasukkan ke gedung. Pengungsi pun tidak diturunkan dan melanjutkan perjalanan tanpa tahu kemana tujuannya," jelas CSO.

Dalam penutupnya, CSO mengatakan pemindahan tidak manusiawi ini tidak akan terjadi jika koordinasi dilakukan sesuai Perpres 125 tahun 2016. Meskipun memiliki kekurangan, terutama soal aturan prosedural teknis, pendanaan, dan aspek perlindungan, namun Perpres secara spesifik sudah memiliki panduan terkait apa yang lembaga negara harus lakukan di setiap tahap ke pengungsian mulai dari penyelamatan di laut.

"Mereka dibawa tanpa pemberitahuan dalam perjalanan dengan truk, ditelantarkan di depan Kanwil Kemenkumham Banda Aceh tanpa boleh turun dari truk, harus melakukan kegiatan buang hajat secara tidak manusiawi karena tidak diizinkan turun, ditolak oleh orang-orang yang mengatasnamakan dirinya warga, dan dihilangkan martabatnya karena dipindah-pindah antar kota oleh negara tanpa kejelasan," tutur CSO.

Dalam rilisnya, CSO juga memberikan sejumlah rekomendasi:
1.    Mendesak penyelamatan pengungsi untuk segera diturunkan dari truk dan diberikan tempat istirahat dan penampungan sesuai standar kemanusiaan dan hak asasi manusia termasuk pengecekan kesehatan khususnya bagi kelompok rentan ibu hamil, anak-anak, dan pengungsi sakit.
2.    Mendesak Menteri Dalam Negeri untuk bertindak mengatasi carut-marutnya koordinasi antar lembaga negara dan saling lempar tanggung jawab antar Pemda yang membuat pengungsi terlantar di atas truk tanpa bantuan dasar, serta memastikan implementasi Perpres secara efektif.
3.    Mendesak Kapolri untuk memastikan perlindungan dan pengamanan bagi pengungsi, serta menginvestigasi potensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai warga yang menolak dan melakukan provokasi penolakan ketika sudah ada persetujuan dari Pemda Lhokseumawe untuk pengungsi ditempatkan di wilayah Lhokseumawe.
4.    Mendesak Menkopolhukam atau lembaga baru yang setara untuk menjalankan Perpres secara efektif dan memerintahkan adanya bangunan layak yang dapat digunakan oleh pengungsi yang saat ini terkatung-katung di jalan untuk berteduh, beristirahat, dan ditampung.
5.    Mendesak Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI untuk melakukan pengawasan penanganan pengungsi serta meminta Ombudsman melakukan audit penanganan pengungsi sesuai Perpres 125/2016.  
6.    Mengapresiasi warga masyarakat dan lembaga kemanusiaan yang memberi bantuan meski mendapatkan tekanan-tekanan yang tidak manusiawi. 
7.    Mendesak Pemerintah Indonesia memposisikan pengungsi sebagai saksi dan korban dalam kasus TPPO sehingga mereka wajib dilindungi.
8.    Mendesak Kementerian HAM untuk turut terlibat dalam perlindungan pengungsi melalui pengkajian, pengawasan, dan praktik lain yang dimungkinkan. 
9.    Mendesak pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan PBB, dan lembaga kemanusiaan untuk menyelaraskan respon kemanusiaan agar situasi seperti ini tidak terjadi kembali di masa depan.

Editor: T Rahmat Hidayat